TIDAK NAIK KELAS KARENA PERILAKU?
Media KOSAYU Mei 2004
TIDAK NAIK KELAS KARENA PERILAKU?
“Anak saya tidak bodoh. Di rumah dia pendiam, tidak nakal.
Kenapa bisa tidak naik kelas? Bahkan para guru menganggapnya ‘anak bermasalah’.
Jangan-jangan ada guru yang sentimen padanya?”
Selain prestasi akademis, perilaku siswa turut menentukan kenaikan/kelulusan. Bila kita menilik kembali tujuan pendidikan, hal ini tentu relevan, karena pendidikan bukan hanya untuk melahirkan manusia yang pintar secara akademis, tetapi juga memiliki perilaku yang mencerminkan nilai-nilai luhur.
Menilai perilaku memang tidak mudah, karena terkesan “abstrak”. Tetapi, walaupun “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, secara mendasar, di setiap tempat dan setiap manusia yang beradab dan berbudaya pastilah mengenal nilai-nilai luhur, yang biasanya dikaitkan dengan moral dan etika. Perbedaan yang ada, bisa dijembatani dengan beberapa panduan. Untuk di sekolah kita, panduan tersebut tersurat dalam buku PEDOMAN TATA KRAMA DAN TATA TERTIB KEHIDUPAN SOSIAL SMPK KOLESE SANTO YUSUP 1 MALANG. Sudah tentu buku ini diharapkan bisa digunakan sebagai media untuk menyelaraskan persepsi antara siswa, orang tuanya, serta pihak sekolah tentang nilai-nilai yang perlu ditanamkan dalam proses pendidikan anak, bukan hanya di sekolah tetapi juga di rumah.
Dalam praktiknya, gesekan bisa terjadi lantaran ada nilai-nilai tertentu yang berlaku di sekolah berbeda dengan yang berlaku di rumah. Demikian pula sikap anak di sekolah maupun di rumah. Tak heran, kesan yang tertangkap oleh guru dan orang tua tentang seorang siswa menjadi berbeda. Akan menjadi masalah, bila siswa tersebut kebetulan memang “berkasus”.
Kita tidak bisa menghindari, bahwa nilai baik buruk, benar salah perilaku terkadang bersifat relatif. Tapi bukannya tidak bisa dicari solusinya. Yang penting ada kesepakatan dan toleransi, yang didasari oleh komunikasi dan rasa saling memahami kepentingan masing-masing. Terlebih bila dasar berpijaknya adalah demi kebaikan siswa. Toh orang tua dan sekolah memiliki tujuan “mulia” yang sama. Yaitu, mengantar anak-anak menjadi manusia yang baik dan berbudi, yang dapat diterima oleh masyarakat lingkungannya yang hidup dalam lingkaran nilai-nilai/norma kehidupan.
Ketika orang tua memutuskan menyekolahkan putra-putrinya di suatu sekolah, pastilah sudah dengan pertimbangan tertentu. Paling tidak, karena adanya rasa percaya bahwa lembaga yang bersangkutan dinilai mampu memberikan pelayanan pendidikan yang bisa dipertanggungjawabkan. Kepercayaan ini sangat penting. Tetapi, percaya tidak berarti lepas tangan. Perlu kontrol dan kerjasama dari orang tua agar proses pendidikan di sekolah bisa optimal. Keberadaan orang tua/masyarakat menjadi penyeimbang, manakala lembaga pendidikan tersebut memerlukan informasi, saran, demi perbaikan atau pengembangan, termasuk dalam menangani kepribadian siswa (terutama) yang bermasalah.
Terkadang, peran langsung orang tua tetap dibutuhkan, walau anak mulai beranjak remaja. Mulai dari memeriksa agenda, laporan pelanggaran siswa, hingga berkonsultasi dengan pihak sekolah, baik secara sukarela, maupun karena undangan khusus dari sekolah. Dalam kasus tertentu, saat sekolah meminta informasi ke rumah atau pihak keluarga, hendaknya disikapi dengan positif dengan memberikan informasi yang benar dan jujur. Hal ini penting, agar sekolah bisa menentukan pendekatan yang sesuai, agar siswa tidak dibuat bingung, bila kenyataannya ada nilai-nilai di rumah yang tidak sejalan dengan nila-nilai yang diajarkan di sekolah. Beberapa orang tua merasa cemas saat dimintai keterangan, lalu bersikap defensif, karena merasa terancam, malu, atau kuatir bila anaknya akan “dijatuhkan/disudutkan”. Akibatnya, secara “naluriah”, mereka membela atau terlalu memihak sang anak. Bisa ditebak, selanjutnya, bukan jalan tengah yang didapat, tetapi justru sikap antipati dan salah paham antara orang tua dan sekolah. Ujung-ujungnya, bukan tidak mungkin gagallah usaha memperbaiki perilaku siswa tersebut karena orang tua dan sekolah tidak seiya sekata di depan anak. Yang tidak mengenakkan, di suatu saat nanti, sekolahlah yang malah dikambinghitamkan atas perilaku siswa negatif siswa tersebut yang (kebetulan) justru terlahir dan terpupuk dari lingkungan keluarganya. Tidakkah ini ironis?
Tapi kita tak perlu pesimis. Itu hanya sepenggal “kisah sedih di sekolah” yang pernah terjadi selama proses pendidikan kepribadian siswa. Bagaimanapun, lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab moral untuk melahirkan manusia berpribadi tangguh dan berbudi luhur, dengan landasan yang benar dan terencana. Bila ada kekurangan yang menyebabkan ketidakpuasan, tentu harus dikomunikasikan. Karena staf pendidik di sekolah ini juga cuma manusia biasa yang serba terbatas, membutuhkan dukungan dari banyak pihak, terutama orang tua. Bila ada perbedaan/kejanggalan perilaku siswa yang tidak terdeteksi di rumah atau di sekolah, marilah saling berbagi. Kepala sekolah, wali kelas, guru BP/BK, atau guru lain yang memang dinilai berkepentingan, pastilah akan menerima dengan terbuka para wali murid yang ingin berkonsultasi tentang perkembangan putra-putrinya, termasuk dalam hal perilakunya. Dengan demikian, saat kenaikan/kelulusan, orang tua tidak perlu dikejutkan oleh “kabar buruk” kegagalan putra-putrinya gara-gara perilakunya yang “tidak semanis” saat di rumah. ** (her)
Comments
Post a Comment