PENILAIAN dan REMIDI
Media KOSAYU Oktober 2006
PENILAIAN DAN REMEDI
Rasanya, tidak dapat kita ingkari, bahwa ketika orang tua mengirim putra-putrinya ke sekolah, pastilah pada akhirnya “nilai” (baca: ANGKA) yang menjadi acuan para orang tua untuk melihat apakah putra-putrinya “berhasil”. Bahkan, walau telah didengungkan dengan gencar, bahwa kurikulum 2004 (dan 2006—bila dilaksanakan kelak) menekankan penilaian kepada anak secara “utuh”, dan menghargai siswa dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, tak urung, orang tua pun masih begitu penasaran mengetahui posisi (ranking) putra-putrinya di antara siswa lainnya. Sesuatu yang cukup wajar, mengingat hidup ini adalah sebuah “persaingan”, bukan? Tetapi menjadi terasa kurang sehat, manakala kita sedang berusaha mengubah paradigma “sukses dalam pendidikan”, yang bukan saja menyangkut angka (kognitif) dan ranking, melainkan eksistensi seorang siswa sebagai seorang manusia yang “utuh”. Walaupun sulit tampaknya, hal ini menjadi PR kita bersama untuk secara perlahan melupakan ranking*) yang bersifat mengadili si A bodoh, si B pintar, si C lebih pintar dari si D, dan seterusnya……
Dan bahwa nilai memang tak bisa lepas dalam hubungannya dengan “sukses dalam pendidikan”, mau tak mau kita harus berhadapan dengan dunia penilaian. Perlu digarisbawahi, penilaian bukan hanya dilakukan saat ada ulangan. Penilaian selalu menyangkut diri/perkembangan siswa secara utuh, baik aspek kognitif, psikomotor, dan afektifnya. Dan nilai-nilai tersebut dapat digali melalui tugas, proyek, dan metode lainnya, selama sesuai dengan tujuan penilaian dan materi yang sedang dipelajari.
Selain itu, standard nilai minimal pun berubah. Bila dahulu, mencapai nilai 60 atau 65 sudah dianggap “aman”, maka kini nilai 75 menjadi targetnya. Hanya saja, perlu diketahui, untuk sampai pada semua ketentuan tersebut, tiap sekolah memiliki kebijakan yang berbeda-beda. Maka sungguh kurang bijaksana, bila kita secara kasar membanding-bandingkan kebijakan sekolah yang satu dengan yang lain. Mengapa? Karena secara kasat mata jelas, bahwa kondisi tiap sekolah pastilah berbeda-beda. Bisa inputnya, latar belakang sosial siswanya, kondisi sekolah ybs, dan masih banyak hal lainnya.
Tanpa bermaksud meninggikan diri, mengingat sekolah kita diakui sebagai sekolah yang cukup tangguh dari sisi kemampuan kognitif siswanya, maka bukan hal yang aneh bukan, bila siswa sejak dini dibiasakan untuk mempertajam kemampuan kognitifnya (tentu saja tanpa mengabaikan kedua aspek lainnya), dan mematok angka minimal 75. Kalau mau jujur, ini juga suatu “trik” untuk bersiaga, membiasakan diri (para siswa) karena toh pada akhirnya bukan tidak mungkin, semua sekolah nantinya WAJIB mematok angka 75 sebagai batas minimal. Daripada kita saat ini “berleha-leha” tapi kemudian “keteteran” menjangkau batas minimal tersebut, bukankah lebih baik membiasakan para siswa sejak awal untuk memotivasi meraih batas tersebut?
Kalau toh masih dianggap tuntutan itu terlalu berat, kebijakan ini telah diantisipasi dengan adanya remedi. Artinya, bila siswa belum mampu mencapai batas minimal (75) dalam suatu penilaian, siswa dapat memperoleh kesempatan untuk remedi. Bagaimana remedi tersebut dalam aplikasinya, tentu kembali kepada kebutuhan dari masing-masing materi/bidang studi yang sedang dipelajari siswa. Sekali lagi, tak perlu kita saling membandingkan atau memaksa menyamakan satu bidang studi dengan yang lainnya. Yang paling tahu apa yang dinilai, kompetensi mana yang dititikberatkan, dan bagaimana nilai-nilai siswa tersebut nantinya akan “menghias” rapor siswa, pastilah sang guru. Para gurulah yang paling memahami kebutuhan tersebut. Sikap percaya dengan tujuan/niat baik guru sangatlah dibutuhkan. Percaya, maksudnya, janganlah ada prasangka bahwa guru hendak menjatuhkan/merugikan nilai siswa. Percaya, bukan berarti guru (sekolah) menutup diri dari segala saran/kritik sehubungan dengan kegiatan belajar mengajar dan penilaian yang dilakukannya. Kedua hal tersebut memang harus berjalan bersama---percaya pada niat baik guru dan tetap memantau jalannya proses pendidikan yang terjadi pada putra-putri kita.
Dengan landasan tersebut, kiranya kita bisa menyikapi keberadaan remedi dengan bijaksana. Remedi bukankah kesempatan yang diberikan karena siswa belum/tidak (mau) belajar pada saat menjelang penilain atau sikap negatif sejenis lainnya. Remedi sebenarnya suatu bentuk toleransi, manakala siswa belum menguasai suatu materi, dan masih membutuhkan kesempatan untuk mempelajarinya/dijelaskan lagi oleh gurunya, untuk kemudian dievaluasi kembali pemahamannya (baik secara konsep dan atau aplikasinya). Karena itu, dengan pertimbangan tertentu guru memiliki wewenang untuk menentukan adanya remedi atau tidak. Pertimbangan tersebut misalnya: pencapaian klasikal telah 85% (minimal), atau untuk KD yang sama masih akan ada penilaian lain yang memungkinkan siswa “menutup” kekurangan nilainya, atau pertimbangan lainnya---sekali lagi, percayalah, bila guru memiliki niat baik. Tak ada niat guru menjatuhkan siswa, apalagi tersenyum bahagia manakala seorang murid gagal di setiap tahun ajaran!!!
Pelaksanaan dan pelaporan hasil remedi itu sendiri biasanya telah melalui suatu proses sosialisasi/kesepakatan dengan para siswa. Dan, lagi-lagi, tidak harus disamakan antar guru satu dengan lainnya, antar sekolah satu dengan lainnya. Karena itu, bila para orang tua memang peduli dengan prestasi putra-putrinya, tak ada salahnya rajin-rajin berkomunikasi dengan putra-putri tentang kegiatan belajar mereka dan penilaian (plus remedi) yang mereka jalani di sekolah. Bila informasi yang diterima kurang memuaskan orang tua....MOHON, jangan terburu berburuk sangka atau menghakimi guru ybs. Bukan tidak mungkin putra-putri kurang memperhatikan apa yang disampaikan oleh para gurunya (dan ini sering terjadi). Bila memang tidak puas dengan keterangan mereka, jangan ragu untuk berkomunikasi dengan guru bidang studi ybs. (sebagai pihak yang paling paham tentang apa yang diprogramkan dan dilakukan selama kegiatan pembelajaran), atau wali kelas, atau guru BP, dll, sesuai kebutuhan. Percayalah, kami akan menerima dengan tangan terbuka. Mengapa kami harus menolak sebuah niat baik—niat baik otrang tua untuk berkomunikasi dan melakukan klarifikasi?
Maka, bila sikap saling percaya dan saling memahami ini dapat kita ciptakan, tak ada yang perlu dicemaskan tentang putra-putri kita, apa pun kurikulum yang harus kita jalankan. Kalaupun ada masalah atau ketidakpuasan, hendaknya dapat kita cari solusinya bersama......Salam damai selalu.....(her)
*) ranking 1-3 dibuat sebagai dasar pemberian penghargaan secara kognitif (penghargaan bagi “Bintang Pelajar” di setiap akhir tahun ajaran). Sedangkan untuk aspek psikomotor dan afektif, penghargaan diberikan setiap tahun dalam bentuk penganugerahan “pelajar teladan”)
Comments
Post a Comment