SIAPKAH KITA BERSENANG2? (jelang kurikulum baru)
Media Kosayu, Februari 2004
SIAPKAH KITA BERSENANG-SENANG?
Medi berangkat sekolah dengan bersiul gembira. Sang mama memandang heran, tapi menahan diri untuk tidak langsung mencari tahu sebabnya. Setahunya, berangkat ke sekolah adalah salah satu hal yang dibenci oleh Medi. Apakah dia sedang jatuh cinta?
Kembali sang mama dibuat heran, saat si Medi pulang sekolah. Walau wajahnya penuh peluh tanda kecapaian, tetapi wajah Medi tetap ceria. Tidak mengomel panjang pendek tentang ulangan yang berjibun atau PR yang menumpuk.
Keheranan sang mama memuncak menjadi kegusaran, saat dia bertanya,” Medi, ada PR apa saja?” Dan sang anak menjawab, “PR? Ah, tenang,Ma. Semua sudah beres di sekolah.” Kening sang mama berkerut. Seingatnya, salah satu alasan sang mama memilih sekolah Medi yang sekarang, ya karena terkenal dengan banyaknya PR untuk latihan sehingga anak tidak sempat berpikir main yang aneh-aneh. Dicobanya memancing informasi lagi. “Tadi gurumu ngajar apa saja?” Sejenak Medi terdiam, baru berkata, “Kami lebih banyak diskusi dan belajar sendiri.” Lho, lho, lho, lalu apa kerjanya sang guru, pikir Mama Medi.”Ma, les hari ini diganti hari lain ya. Teman-teman nanti kemari. Mau latihan untuk tes kesenian,” kata Medi sambil menghilang ke dalam kamarnya.
Sang mama terperanjat, dan tanpa menunda lagi, diambilnya HP, dan mulai mengecek cerita sang anak pada mama-mama yang lain. Dan tersiarlah sebuah berita tentang suatu perubahan yang patut dipertanyakan….
Apa yang sedang terjadi?
Apabila kita mencermati isi Media Kosayu edisi Januari 2004, tentunya masih ingat informasi tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sedang hangat dibicarakan dan akan segera diberlakukan dalam sistem pendidikan kita. Suatu hal yang baru, yang kita pun masih meraba-raba.
Namun, secara pribadi, saya ingin bersikap optimis, bahwa di balik hal yang terdengar asing itu, ada satu janji positif tentang bagaimana kita mesti membina hubungan dengan anak-anak kita, mendidik dan mentransfer ilmu yang kita punya. Di mana semua “tugas” itu bisa kita lakukan dengan cara yang menyenangkan, menantang bagi siswa, dan membuat anak “lebih tertarik” untuk berangkat sekolah.
Apa yang akan terjadi?
Secara praktis bisa saya gambarkan sebagai berikut. Siswa tidak akan sekedar dijejali ilmu oleh guru. Mereka ditantang untuk menemukan sendiri apa yang perlu mereka pahami. Dan untuk memastikan kompetensinya atau kemampuan praktisnya akan ilmu-ilmu yang sudah didapatkan, siswa akan mendapatkan tugas atau proyek yang bervariasi sesuai tuntutan bidang ilmu yang sedang ditekuninya. Bisa berbentuk karya tulis atau yang lainnya. Hasil dari semua kegiatan inilah yang akan menentukan berhasil/lulus tidaknya seorang siswa. Yang artinya, tanpa harus memberikan “tekanan”--- tetapi lebih pada bimbingan dan arahan---, siswa disadarkan bahwa keberhasilannya benar-benar tergantung pada seberapa besar kesungguhannya untuk menguasai ilmu yang menjadi tanggung jawabnya, sesuai dengan kondisi masing-masing siswa. Dengan demikian, siswa yang mampu melesat jauh tidak kita hambat, sementara yang tersendat-sendat kita beri kesempatan untuk terus berjuang.
Lalu, seberapa besar tanggung jawab guru terhadap kelas yang diasuhnya dengan metode seperti itu? Tidak perlu diragukan lagi, tanggung jawab guru justru semakin “serius”. Mengapa demikian? Walaupun siswa mendapat kesempatan lebih banyak untuk belajar sendiri atau dalam kelompok, guru tidak bisa tinggal diam. Guru melakukan pengamatan intensif untuk memantau kemajuan dan keaktifan siswa, sebagai bahan penilaian dalam rapor/laporan nantinya. Guru harus semakin mantap dan luas wawasannya untuk mampu mengarahkan dan menjawab “penemuan-penemuan” dari hasil belajar siswanya. Guru juga wajib kreatif menciptakan tugas atau proyek yang selaras dengan kompetensi yang menjadi tujuan pembelajarannya. Guru mesti siap sedia dengan materi yang lebih kaya untuk memenuhi rasa haus ilmu dari siswa-siswa yang mampu melesat cepat kompetensi dan daya serap ilmunya, sehingga mereka tidak mandheg dan mentok Sebaliknya, dalam menghadapi siswa yang “tersendat”, guru ditantang untuk terus mencari metode yang paling sesuai untuk mempermudah belajar siswa yang bersangkutan.
Maka sebenarnya, kurikulum yang sedang kita jelang ini bagaikan menantikan sebuah proyek besar. Dan masalah yang terlintas di kepala, bukan hanya bagaimana guru dan siswa bersiap diri untuk menjalankan pendekatan pembelajaran yang baru itu. Yang tidak kalah pentingnya adalah kesiapan para wali murid/masyarakat. Dalam hal apa?
Seperti ilustrasi di awal tulisan ini, kenyataannya masih banyak orang yang terlanjur cinta dengan metode pembelajaran yang klasikal, ceramah, banyak tugas/ulangan, dan menganggap “bersenang-senang” selama belajar bisa mengganggu kesungguhan siswa. Seiring berjalannya waktu dan berubahnya karakteristik anak-anak kita di zaman sekarang, rasanya cara yang demikian tidak relevan lagi. Hanya menimbulkan tekanan dan sikap melawan/antipati dari mereka. Dan sistem pendidikan yang baru ini bisa memberi alternatif dalam mencari solusi cara belajar dan pendidikan (di sekolah) yang lebih menyenangkan dan “santai” (tapi serius) karena anak lebih banyak terlibat dengan teman-temannya sendiri..
Karena itu, hendaknya orang tua tidak kelabakan, bila di suatu sore putra-putrinya tidak memiliki PR atau ulangan yang harus dipelajari dengan guru les privatnya. Dan sebagai gantinya, mereka harus sibuk mengerjakan ini itu ke sana ke mari bersama teman-temannya, atau pulang sekolah agak terlambat, dalam rangka mengerjakan tugasnya. Inilah situasi baru yang mungkin terjadi. Kalau kuatir mereka menyalahgunakan kesempatan itu, di sinilah perlunya komunikasi dengan pihak sekolah untuk mengkonfirmasikan mengenai tugas-tugas tersebut. Sehubungan dengan ini, hendaknya tidak terlintas di pikiran para orang tua bahwa para guru sengaja “merepotkan” siswanya. Kelak, pihak sekolah pastilah akan membuat suatu panduan agar dalam pemberian tugasnya setiap guru telah menjadwal sedemikian rupa sehingga tugas tidak menumpuk dan membebani siswa di satu waktu saja.
Masih sejalan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi, salah satu media belajar siswa adalah dengan mengalami sendiri apa yang terjadi dalam kehidupan nyata, terutama yang berhubungan dengan ilmu yang dipelajarinya. Apakah itu tentang alam, teknologi, ilmu sosial, pelayanan masyarakat, dan sebagainya. Tentu saja, media tersebut tidak mungkin dipenuhi oleh sekolah dengan sarana dan dananya yang serba terbatas. Di sinilah diperlukan peran dan kerelaan orang tua/masyarakat untuk turut membantu tersedianya media tersebut.
Sebagai ilustrasi saja: sekali waktu, anak-anak perlu informasi kesehatan dari seorang dokter, dialog dengan psikolog, berbagi pengalaman karir/bimbingan karir dari berbagai bidang ilmu (pengacara, pedagang, pendeta, insinyur, dsb.), atau yang lainnya. Alangkah bagusnya, apabila nara sumbernya datang dari para orang tua sendiri. Atau di suatu kesempatan, anak perlu kita kenalkan pada roda kerja pabrik/perusahaan, usaha percetakan, dunia bisnis restoran, dsb. Sangat baguslah bila tawaran lokasi tujuan datang dari wali murid (atau jaringannya).
Idenya tentu bukan untuk KKN. Saya hanya ingin sekedar membangkitkan inspirasi dan semangat para wali murid untuk terlibat langsung dan bekerja sama dengan sekolah dalam memberi pengalaman hidup bagi anak-anak kita. Toh kelak, bila mereka berhasil, orang tua akan turut memetik hasilnya. Walau orang tua harus rela “diganggu” di tengah kesibukan/kerjanya, tentu tidak akan rugi, bukan? Dengan cara ini pula, selain membagikan ilmu praktis, secara tidak langsung kita bisa mengajarkan nilai-nilai kehidupan pada mereka. Seperti tentang kerja keras, perlunya keahlian/keterampilan, ketekunan, kedisiplinan, dan sebagainya. Hitung-hitung, sambil menyelam minum air. Semoga ini tidak berhenti sebagai angan-angan, idealisme, atau teori semata.
Dengan demikian, tidak salah bukan, bila dengan optimis saya berpendapat, bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi membukakan pintu gerbang dunia belajar dan pendidikan yang lebih menggairahkan dan menyenangkan, bagi siswa, guru , dan juga orang tua siswa/masyarakat. Nah, siapkah kita bersenang-senang?***(her)
Comments
Post a Comment