Disiplin, suatu keharusan atau KEBUTUHAN
Dipublikasikan di MEDIA KOSAYU, Oktober 2003
DISIPLIN
Suatu keharusan atau kebutuhan?
Oleh: Herningtyas
Kata DISIPLIN hampir pasti memunculkan kesan “momok” aturan-aturan yang serba “harus”. Sebuah belenggu hak azasikah ini?
Bila kita mendahulukan ego kita, rasa terbelenggulah yang terasa. Akibatnya, ada keterpaksaan, tersiksa, yang menimbulkan kesan kurang menyenangkan bagi yang menjalaninya. Apalagi disiplin sering dikaitkan dengan nuansa “kekerasan”.
Tetapi, bila kita mencoba melihatnya dengan “kaca mata” yang jauh ke depan dan pikiran positif, kita akan dibuat takjub dengan pencapaian kita di kemudian hari sebagai hasil “persahabatan” kita dengan kedisiplinan.
Sebagai bukti, kita lihat sejarah kehidupan Bapak/Ibu yang dari berbagai profesi, mungkinkah saat mendapatkan profesi itu dulu dan meraih kesuksesan hingga saat ini , tidak didukung oleh sikap disiplin? Dan kini, beranikah Bapak/Ibu menjamin dan menjanjikan bahwa putra-putri pasti akan sukses di masa depan walaupun tanpa kedisiplinan???
Kesuksesan adalah buah manis dari pengorbanan, kerelaan “dibelenggu” oleh aneka keharusan yang mau tak mau wajib dijalani, agar meraih hasil yang optimal. Dan “belenggu” itu bernama kedisiplinan---apa pun bentuknya. Intinya, bukan merebut hak asasi seseorang, melainkan untuk mengontrol/mengarahkan hak seseorang agar tidak mengganggu kepentingan bersama (dalam hal ini proses pendidikan), serta mengoptimalkan proses kerja dan berkarya serta interaksi antar manusia.
Memahami arti penting disiplin tidaklah terlalu sulit. Yang rumit adalah bagaimana menjadikan disiplin itu sebagai KEBIASAAN, hingga menjadi suatu KEBUTUHAN, di mana pada akhirnya seseorang akan merasa tidak nyaman bila dia tidak disiplin dalam menjalankan fungsinya, entah sebagai pelajar, pekerja, atau profesi lainnya.
Dalam hal ini, lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, memiliki peran penting dalam menciptakan “sanksi sosial”, agar seseorang yang mengabaikan kedisiplinan akan merasa malu dan “tersiksa”, sehingga dia akan berusaha berdisiplin diri.
Dengan memiliki persepsi yang kurang lebih sama dalam menerima tuntutan kedisiplinan serta menyadari buah dari sikap disiplin itu di masa depan, kita tidak lagi merasa HARUS disiplin, melainkan memang BUTUH disiplin.
Seiring dengan proses membimbing putra-putri menuju kesadaran kedisiplinan diri, telah diterbitkan sebuah buku panduan tata tertib yang disusun berdasarkan rasa BUTUH berdisiplin dan tatakrama kehidupan sosial, agar setiap pribadi bisa saling menghormati/menghargai demi terciptanya suasana pendidikan yang kondusif dan hubungan antar pribadi yang harmonis. Alangkah baiknya bila Bapak/Ibu turut mencermati isinya dan memberikan masukan yang membangun demi kebaikan putra-putri kita.
Kami yakin, kita sepakat untuk memberikan serta mendapatkan yang terbaik dari putra-putri kita. Jadi, alangkah indahnya bila mereka “terpanggil” untuk disiplin, membiasakan diri disiplin, demi hari depan mereka kelak, tentu saja dengan dukungan orang tua. ***
DISIPLIN
Suatu keharusan atau kebutuhan?
Oleh: Herningtyas
Kata DISIPLIN hampir pasti memunculkan kesan “momok” aturan-aturan yang serba “harus”. Sebuah belenggu hak azasikah ini?
Bila kita mendahulukan ego kita, rasa terbelenggulah yang terasa. Akibatnya, ada keterpaksaan, tersiksa, yang menimbulkan kesan kurang menyenangkan bagi yang menjalaninya. Apalagi disiplin sering dikaitkan dengan nuansa “kekerasan”.
Tetapi, bila kita mencoba melihatnya dengan “kaca mata” yang jauh ke depan dan pikiran positif, kita akan dibuat takjub dengan pencapaian kita di kemudian hari sebagai hasil “persahabatan” kita dengan kedisiplinan.
Sebagai bukti, kita lihat sejarah kehidupan Bapak/Ibu yang dari berbagai profesi, mungkinkah saat mendapatkan profesi itu dulu dan meraih kesuksesan hingga saat ini , tidak didukung oleh sikap disiplin? Dan kini, beranikah Bapak/Ibu menjamin dan menjanjikan bahwa putra-putri pasti akan sukses di masa depan walaupun tanpa kedisiplinan???
Kesuksesan adalah buah manis dari pengorbanan, kerelaan “dibelenggu” oleh aneka keharusan yang mau tak mau wajib dijalani, agar meraih hasil yang optimal. Dan “belenggu” itu bernama kedisiplinan---apa pun bentuknya. Intinya, bukan merebut hak asasi seseorang, melainkan untuk mengontrol/mengarahkan hak seseorang agar tidak mengganggu kepentingan bersama (dalam hal ini proses pendidikan), serta mengoptimalkan proses kerja dan berkarya serta interaksi antar manusia.
Memahami arti penting disiplin tidaklah terlalu sulit. Yang rumit adalah bagaimana menjadikan disiplin itu sebagai KEBIASAAN, hingga menjadi suatu KEBUTUHAN, di mana pada akhirnya seseorang akan merasa tidak nyaman bila dia tidak disiplin dalam menjalankan fungsinya, entah sebagai pelajar, pekerja, atau profesi lainnya.
Dalam hal ini, lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, memiliki peran penting dalam menciptakan “sanksi sosial”, agar seseorang yang mengabaikan kedisiplinan akan merasa malu dan “tersiksa”, sehingga dia akan berusaha berdisiplin diri.
Dengan memiliki persepsi yang kurang lebih sama dalam menerima tuntutan kedisiplinan serta menyadari buah dari sikap disiplin itu di masa depan, kita tidak lagi merasa HARUS disiplin, melainkan memang BUTUH disiplin.
Seiring dengan proses membimbing putra-putri menuju kesadaran kedisiplinan diri, telah diterbitkan sebuah buku panduan tata tertib yang disusun berdasarkan rasa BUTUH berdisiplin dan tatakrama kehidupan sosial, agar setiap pribadi bisa saling menghormati/menghargai demi terciptanya suasana pendidikan yang kondusif dan hubungan antar pribadi yang harmonis. Alangkah baiknya bila Bapak/Ibu turut mencermati isinya dan memberikan masukan yang membangun demi kebaikan putra-putri kita.
Kami yakin, kita sepakat untuk memberikan serta mendapatkan yang terbaik dari putra-putri kita. Jadi, alangkah indahnya bila mereka “terpanggil” untuk disiplin, membiasakan diri disiplin, demi hari depan mereka kelak, tentu saja dengan dukungan orang tua. ***
Comments
Post a Comment