Menulis, Membiasakan Diri Membahasakan Pikiran
Menulis, Membahasakan Diri , Membahasakan Pikiran
The Original version: lanjutan Guru Menulis (1) Makan vs Menulis
Costantini - Buletin Dwi Bulanan Yayasan Kolese Santo Yusup Malang & Yayasan Pendidikan Kalimantan Pontianak, Juli 2012
The Original version: lanjutan Guru Menulis (1) Makan vs Menulis
Guru Menulis (2)
(Lebih) Cerdas dengan Menulis,
Guru Menulis = Guru (Lebih) Cerdas?
M. Herningtyas
Mari tersenyum, tak ada niatan arogan dengan judul tersebut.
Permennegpan
Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru menghantar kita berhadapan dengan
Penilaian Kinerja Guru (PKG), per 1 Januari 2013. Salah satu aspek PKG adalah
publikasi ilmiah/karya inovatif. Tuntutan
ini menjadi sumber kegelisahan bagi para guru yang terlanjur melabeli diri
sendiri sebagai pribadi tak berbakat menulis. Namun, penulis berharap, bila pembaca
telah menyempatkan membaca Costantini
edisi lalu ”Guru Menulis (1)-Makan vs
Menulis”, jiwa profesionalisme dan nurani pendidik akan menggerakkan kita
semua untuk membentuk mindset baru: ”Tak
satupun guru yang tak dapat membuat buku! Tak ada lagi alasan guru tidak
menulis!”
Ya, menulis itu ibarat makan. Kebutuhan
dan kebiasaan. Terkadang, demi stamina
dan kesehatan, kita rela menyantap menu yang kita tak suka. Terpaksa awalnya,
lama-lama terbiasa juga, dan akhirnya menjadi kebutuhan. Begitupun menulis.
Demi kestabilan tunjangan dan peningkatan profesionalisme, kita ”terpaksa”
belajar genre karya tulis yang lebih
menantang. Berat awalnya, namun dengan latihan, kita terbiasa dan bisa!
Seperti kita
ketahui, ada beberapa bentuk karya tulis yang bisa kita persiapkan untuk
keperluan PKG, yaitu: presentasi
forum ilmiah, hasil penelitian (yang tidak harus PTK), tinjauan ilmiah, tulisan
ilmiah popular, artikel ilmiah, buku pelajaran, modul/diktat, buku dalam bidang
pendidikan, karya terjemahan, atau buku pedoman guru. Begitu banyak pilihan
untuk secara bertahap guru meningkatkan kemampuan dan kualitas menulisnya.
Menulis itu selalu bersinergi dengan
membaca. Membaca situasi (observasi/mengamati), membaca opini orang lain,
membaca yang ada dalam pikiran/nurani kita sendiri. Ya, sinergi semua
unsur tersebut.
Ketika mata kita mengamati sesuatu,
pikiran dan hati kita pasti bereaksi. Latihlah untuk ”membaca” reaksi tersebut,
untuk mendapatkan ide tulisan. Makin sering kita berlatih menangkap momen reaksi
ini, makin tanggap kita menangkap ide tulisan, dan makin mudahlah kita mulai
menulis. Proses yang sama terjadi saat kita membaca tulisan orang lain. Pikiran dan perasaan kita pastilah sedikit
banyak memberikan reaksi—bahkan sekedar reaksi pro atau kontra. Ambillah momen
tersebut, untuk menangkap ide tulisan.
Seperti halnya observasi, membaca buku dan
artikel akan memberi kita referensi tiada habis. Dari kedua aktivitas tersebut,
kita bisa menggali fakta dan dalil pendukung tulisan kita. Termasuk menemukan
masalah berikut solusinya, berdasarkan data dan teoril yang kita dapatkan dari
pengamatan lapangan dan sumber bacaan terkait. Maka, tidak salah bila kita
katakan membaca adalah gizi, vitamin, suplemen, bagi otak untuk menulis.
Mengutip
tulisan Krashen (1982), “Reading provides writers with knowledge of the
language of writing, the grammar, vocabulary, and discourse style writers use,”
kita tak mungkin menghindari membaca, agar stamina menulis tetap terjaga dengan
asupan gizi berkualitas. Membaca juga
memberi pengalaman berbahasa untuk memperlancar tulisan kita, sembari kita menemukan
gaya kita sendiri. Penulis menyarankan penggunaan kamus thesaurus. Kamus ini memberi kita alternatif kosa kata, sehingga kita
bisa menggunakan diksi yang lebih bervariasi
dalam tulisan kita.
”Writing can make you smarter. When we write...,
we make a representation of our thoughts, of our cognitive structures…that writing can aid in thinking and
problem-solving” (Krashen, 1982, 2003). Menulis mampu membuat kita semakin
cerdas. Proses menulis membuat kita mengaktifkan kemampuan kognitif, membantu
proses berpikir dan pemecahan masalah. Menulis akan membuat guru semakin
cerdas, dan guru yang mau menulis berarti guru yang mau menjadi LEBIH CERDAS.
Bila kita konsisten berkomitmen membentuk
karakter anak didik yang cerdas dan pantang menyerah, menulis adalah salah satu
bentuk keteladanan nyata. Bayangkan, anak didik kita memegang buku pelajaran
dengan nama kita—gurunya—sebagai penulisnya, di dalamnya tersirat kualitas
penguasaan materi serta inspirasi dari gurunya, atau menemukan nama gurunya
tercetak di aneka artikel media publikasi, mendapati nama gurunya tertera di
salah satu tumpukan buku di toko buku terkemuka? Bagaimana bila mereka
menyaksikan para gurunya terlibat dalam diskusi ilmiah atau menemukan kumpulan
guru memegang buku dan....membaca--demi memelihara energi dan ide menulis! Wow!
Nah, bisa dibayangkan efek positif, motivasi, inspirasi yang akan mampu kita
tularkan, tanpa perlu membuang waktu dengan teori-teori tanpa realisasi?
Menjadi guru
yang produktif menulis, bisa mengundang rezeki bukan hanya dari tunjangan
profesi. Namun, jangan sampai demi ”menjual” tulisan, guru terjebak dalam
bisnis terselubung demi untung bergunung-gunung, yang akan menodai harga diri dan
lembaga pendidikan berbasis kasih yang kita emban dalam visi KOSAYU ini, di
mana ujung-ujungnya memberatkan anak didik. Ya yang wajar saja. Selamat berkarya.*
Comments
Post a Comment