Makan vs Menulis

MAKAN VS MENULIS
Costantini - Buletin Dwi Bulanan Yayasan Kolese Santo Yusup Malang & Yayasan Pendidikan Kalimantan Pontianak, Mei 2012






Guru Menulis (1)
Makan vs Menulis
M. Herningtyas

                 
Judul di atas tak terkait dengan penulis yang kok ya ndilalah bertubuh subur, seolah-olah makan melulu . Tetapi benar, aktivitas sesederhana makan dapat menjadi INSPIRASI tulisan. 
Penilaian Kinerja Guru yang menuntut publikasi ilmiah, cukupkah ditanggapi dengan kegelisahan? Tanpa ragu kita tahu, poin ini lekat sangat dengan menulis. Menulis selalu dikaitkan bakat. Yang merasa tak berbakat mengklaim diri sebagai ”mandul” menulis. Ah!
Menyerah? Bila mentalitas pendidik bersertifikasi selembek ini, masih pantaskah kita bermimpi anak didik kita akan menjadi andalan masa depan bangsa? Mengutip ucapan Direktur Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional, Sumarna Surapranata, Ph.D terkait dengan profesionalisme guru, ”... Kepribadiannya harus unggul. Unggul itu termasuk pantang menyerah.
Lebih bijak bergerak selangkah demi selangkah. Boleh sedikit nekad. Senekad penulis mengisi di kolom buletin ini, yang akan dibaca oleh kaum praktisi yang kritis, para sesepuh yang telah seberisi bulir padi, atau bakal ditilik kolega penulis yang lebih ahli. Ya, uji nyali. Jadi, rekan guru terkasih, yang masih ragu menulis, Anda TIDAK sendiri, untuk belajar menjadi guru yang (makin) profesional. Menjadi guru yang menulis. Atau guru dan juga penulis (baca: profesi  dan honor ganda J )? 
Agar pembaca yang minder menulis tidak makin ciut nyali, penulis memilih tiga langkah sederhana ”How to...”,   sesederhana rutinitas ”makan untuk hidup.”
How to pertama: mengatasi pikiran tidak bakat menulis. Menulis ibarat makan. Makan untuk hidup--menulis untuk PKG. Andai kita tidak hobi makan, tetap saja kita HARUS makan sesedikit apapun porsinya. Jadi, andai kita (bersikeras) tak berbakat menulis, demi PKG tetap saja kita HARUS menulis, meskipun tidak seproduktif pehobi dunia aksara. 
How to kedua: memulai/mencari ide menulis. Kita cenderung memilih makanan kesukaan. Jadi, pilih menu selera Anda. Tidak suka daging, makanlah ikan. Kesulitan menulis tinjauan ilmiah? Mulailah membuat modul ajar sederhana. Memang, makanan bisa menimbulkan alergi—gatal, memerah, bengkak, dan bila fatal dapat mengakibatkan kematian. Tetapi jangan kuatir, sampai detik ini penulis belum pernah mendengar kasus alergi menulis yang bikin sekujur tubuh bentol merah apalagi sampai mematikan! Paling-paling ya pegal. Itupun bakal kembali bugar setelah dibelai pemijat profesional J.
Publikasi ilmiah tidak melulu berupa jurnal hasil penelitian. Banyak pilihan untuk memulai menulis. Contohnya, kita pasti membuat bahan ajar yang awalnya ala kadarnya untuk pegangan personal. Kini, tinggal dirapikan agar layak ”ditampilkan”. Kasus anak didik/masalah pembelajaran bisa juga menjadi tulisan berharga. Telatenilah menuliskan peristiwa, perasaan kita, refleksi dan solusi positif yang kita buat untuk memecahkan problema tersebut, termasuk segala hikmahnya. Dengan cara sederhana ini, dalam setahun, jangan-jangan Anda telah siap menerbitkan sebuah buku pendidikan yang sarat pengalaman hidup? Kuncinya, tulislah apa saja. Jangan membuat keputusan terlalu DINI, bahwa tulisan itu TIDAK AKAN BERGUNA. Bila kelak menurut Anda tak ada gunanya juga, setidaknya, Anda sudah bertekun menulis. Tidak rugi, bukan? 
How to ketiga: mengatasi kendala waktu. Demi kehidupan/kesehatan, sesibuk apapun kita harus makan. Demi profesionalisme/kesejahteraan, kita mesti menyempatkan menulis!  Libatkan asisten untuk merapikan tulisan kita. Yang penulis maksudkan di sini asisten dalam artian positif. Ia mengetikkan draft yang sudah kita buat atau menjalankan fungsi editing. Jangan salah, ini BUKAN membayar orang untuk membuatkan kita tulisan. Tugas asistensi ini, bisa menjadi lowongan part-time bagi mahasiswa, tetangga, putra-putri remaja kita, atau bahkan pasangan kita sendiri. Sebagai kompensasi, dapatlah bersepakat apakah sang asisten bakal bertarif profesional atau tarif kekerabatan,  tinggal negosiasi saja J.  
Dalam bedah buku Mutiara Yang Hilang(MYH), Ibu Lidwina (SMP 2) merekomendasikan perlunya wadah presentasi ilmiah yang dimotori bagian pendidikan yayasan KOSAYU. Semoga ini bakal bak gayung bersambut, mengingat tuntutan untuk BIASA menulis perlu dukungan wadah presentasi/publikasi yang representatif. Buku MYH dan bedah bukunya, juga media Costantini, adalah alasan yang masuk akal untuk memancing lahirnya aktivitas ilmiah yang edukatif/inovatif selanjutnya, demi menjawab tantangan PKG 2013.
Prof. Dr. Djoko Saryono, dalam bedah buku MYH menyampaikan, ”Menulis itu ibarat meninggalkan warisan. Tanpa adanya budaya tulis, peradaban pasti musnah.” Nah, mari menulis. Tak ada lagi alasan tak berbakat! Sekecil-kecilnya talenta, Tuhan sendirilah yang mewajibkan kita untuk melipatgandakannya. Menulis bukan semata demi tunjangan profesi. Menulis demi profesionalisme dan harga diri, bentuk pertanggungjawaban kita atas panggilan hidup dari Illahi untuk menjadi pendidik. Kalau memang dari Gusti, tak akan rezeki lari.*
           Menulis (bag. 2: klik di sini)

Comments

Popular Posts