MANAJEMEN SEKOLAH BERBASIS KARAKTER
MANAJEMEN SEKOLAH BERBASIS KARAKTER:
SEBUAH TOTALITAS DALAM MENUNJANG PENDIDIKAN KARAKTER
M. Herningtyas
Dengung
pendidikan karakter yang
disosialisasikan di berbagai seminar dan pelatihan peningkatan
profesionalisme pendidik, berujung pada kehebohan para guru dalam merevisi
model RPP berkarakter yang selama ini setia menemani melalui trik “copy-paste” yang telah jamak dijalani di
seluruh pelosok negeri ini. Meskipun demikian, tidak adil kiranya bila
hanya berdasarkan kebiasaan “copy-paste”
RPP tersebut, kita menarik kesimpulan bahwa para pendidik kita tidak
sungguh-sungguh menjalankan tugas mereka. Tidak pula bijak, bila kita menyimpulkan, kehebohan para
guru dalam merevisi RPP berkarakter menunjukkan bahwa para guru kebingungan
menerjemahkan makna pendidikan karakter. Penulis berani menyatakan hal ini
bukan lantaran bentuk empati atau pembelaan kepada kaum pendidik, namun
didasari oleh naluri pendidik.
Meskipun
secara administratif, para pendidik cukup dibingungkan (dan direpotkan), namun
secara naluri, penulis memiliki keyakinan, bahwa, tanpa harus diatur dengan RPP
berkarakter, para guru yang memiliki panggilan murni menjadi pendidik, yang
mendapatkan “hidayah” untuk mengabdi kepada calon-calon penerus negeri ini, tak
pernah segan dan jemu menanamkan nilai-nilai luhur di sela-sela materi yang
diajarkannya kepada para murid. Bahkan untuk materi yang memungkinkan, dengan
guru yang smart dan kreatif,
nilai-nilai pendidikan karakter mampu disatukan dalam kegiatan pembelajaran.
Maka,
sesungguhnya, tak ada yang perlu kita cemaskan secara berlebihan, bahwa para
guru yang sangat mudah beradaptasi (bukti : mampu beradaptasi dengan kurikulum
yang berubah-ubah) dan juga tahan banting (bukti: mampu bertahan hidup dengan
gaji yang relatif pas-pasan) tersebut, bakal tak mampu menjalani tuntutan yang diamanahkan.
Yang justru perlu menjadi pokok perhatian kita adalah, seburuk apapun publik/media
menuding kekurangan dunia pendidikan kita, hendaknya kita tidak lupa, bahwa
keberhasilan pendidikan itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Maka, sejauh
mana, kita telah memberikan perhatian dan perubahan yang signifikan, mendukung
usaha para guru yang sehari-harinya telah melebur dengan para murid di dalam
kelas.
Bila
tanggung jawab pembentukan karakter HANYA berada di pundak insan-insan yang
telah dilabeli panggilan “guru”, yang saat di kelas dituntut target kurikulum, dihantui target
pencapaian hasil ujian nasional, dikejar-kejar deadline laporan penilaian dan remedi demi tercapainya ketuntasan
belajar, belum lagi, memberikan perhatian pada murid yang “berkebutuhan khusus”
(izinkan penulis meminjam istilah ini untuk menggambarkan sekolah-sekolah
dengan kondisi siswa yang walaupun berkompetensi normal, namun memiliki siswa-siswi
dengan masalah personal yang menghambat prestasi belajar mereka), target
minimal macam apa yang bisa kita harapkan dari generasi muda yang sedang kita
didik sekarang? Sementara itu, begitu keluar dari kelas, dan berada di
lingkungan sekitar, baik masih dalam lingkup sekolah, keluarga, maupun ruang
yang jauh lebih luas, para peserta didik itu memperoleh “pendidikan” yang
sangat tidak mustahil bertolak belakang dengan nilai-nilai pendidikan karakter
positif yang telah ditanamkan para gurunya di sekolah.
Realitas
di atas bukan dimaksudkan untuk melemparkan tanggung jawab pendidikan karakter
kepada pihak lain, bukan pula menjadi media pembenaran manakala guru gagal
menanamkan karakter positif karena berbagai alasan. Seperti telah disampaikan
di awal tulisan ini, bagi insan yang telah terpanggil menjadi seorang pendidik,
naluri menanamkan karakter positif tersebut, seakan telah secara “satu paket”
menempel dalam jiwanya, dan berkembang seiring dengan pengalaman dan
pendewasaan sang guru dari waktu ke waktu. Maka, tujuan utama tulisan ini
adalah semata mengajak unsur-unsur lain dalam ruang lingkung pendidikan, untuk
turut mengambil bagian secara aktif dalam penanaman karakter positif dalam diri
peserta didik yang masih dalam taraf
perkembangan.
Walaupun
lingkungan yang memengaruhi pendidikan murid sangatlah kompleks, bervariasi dan
luas, marilah kita tetap fokus pada fungsi dan posisi di mana kita berada,
yaitu di lembaga yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Maka, yang menjadi
“nyawa” kehidupan berkarakter di sekolah, bukan hanya guru, melainkan juga
seluruh staf karyawan dengan aneka panggilan tugas yang turut mewarnai
kehidupan dan menjalankan fungsi-fungsi pendukung pendidikan dan administrasi
di sebuah sekolah. Dengan kata lain, bolehlah kita menyebut petugas front desk, karyawan tata usaha,
pustakawan, keamanan, kebersihan, dan aneka fungsi pelayanan lain yang ada di
lingkungan sekolah tersebut. Untuk mengatur insan-insan dengan fungsi/tugas
yang beraneka tersebut, dengan wilayah koordinasi yang juga bervariasi, perlu
manajemen yang jelas, terarah, dan dijalankan dengan baik (konsisten). Di
sinilah peran manajemen sekolah menjadi berbeda dengan menejemen sekolah pada
umumnya. Penulis menyebutnya sebagai
manajemen sekolah berbasis karakter, agar sejalan dengan program Pendidikan Berbasis
Karakter.
Apakah yang
membuat manajemen sekolah berbasis karakter istimewa dibanding manajemen
sekolah yang telah ada? Karena dalam sistem
manajemen sekolah berbasis karakter, KOMPETENSI dan KARAKTER menjadi unsur yang
harus secara konsisten mendapatkan perhatian. Hal ini, sangat masuk akal,
karena dalam lingkungan sekolah, peserta didik akan bersentuhan dengan banyak
pihak yang bukan hanya guru, tetapi juga karyawan yang bertugas melayani
berbagai keperluan mereka, misalkan administrasi, pustaka, bahkan perwakilan
orangtua/wali dalam kegiatan tertentu dan lain sebagainya. Selain itu peserta
didik juga harus mengikuti sistem yang
berlaku, termasuk yang diluar proses belajar mengajar (KBM), seperti prosedur
pembayaran SPP, peminjaman buku, pelanggaran kedisiplinan, menerima tamu/orangtua/wali dalam kegiatan
tertentu, dan lain-lain. Apabila manajemen sekolah telah disusun berbasis
karakter, otomatis, sang “manajer” memiliki kewajiban untuk menggerakkan anak
buahnya, memantau, mengevaluasi, serta tentu saja secara konsekuen dan konsisten
turut mematuhi sistem manajemen yang berlaku. Dari sinilah, akan muncul
keselarasan, sebagai hasil positif yang diharapkan saat menajeman sekolah
berbasis karakter ditetapkan. Selain pelayanan di lingkungan pendidikan
dilakukan oleh individu dan tim yang kompeten, mereka juga memiliki karakter
yang patut diteladani oleh peserta didik, tak ubahnya para guru juga harus
mampu menjadi sumber teladan perilaku positif. Sebagai contoh, sistem pelayanan
yang mewajibkan peserta didik sabar antri, disertai dengan layanan petugas yang
ramah bersahabat, atau membiasakan peserta didik dan tamu untuk ”permisi” pada petugas
keamanan, dengan petugas keamanan yang ramah namun tegas. Bisa dibayangkan,
aura positif yang terpancar di lingkungan lembaga pendidikan tersebut. Yang
namanya ‘aura” mau tidak mau pasti memengaruhi “mahkluk hidup” yang ada di dalam/sekitarnya,
dalam hal ini peserta didik dan orangtua/wali murid yang sering terlibat di
dalamnya. Bukan tidak mungkin pula, aura yang menyentuh mereka , akan melekat
sampai mereka tiba di tumah, dan memengaruhi perilaku mereka di rumah. Lebih
jauh saat mereka berinteraksi dengan insan-insan di sekitarnya, aura itu tetap
terbawa, dan terus “mewabah”, menjadi aura positif yang menyebar di lingkungan
yang semakin meluas. Sungguh indah membayangkan bila hal ini menjadi kenyataan.
Memang,
mungkin belum saatnya kita melambung sedemikian tinggi, walaupun itu indah,
sah, dan…..di jalan-Nya. Maka, yang terpenting adalah, memulainya dengan
langkah-langkah kecil dan sederhana di dalam manajemen sekolah kita, yang
memberi prioritas pada individu dan tim kerja yang kompeten dan berkarakter
positif.
Berubah
memang sulit. karena dalam diri kita telah melekat sifat-sifat positif dan
negatif yang disukai atau tidak, telah pula melekat dalam stigma orang-orang
yang biasa hidup dan bekerja dengan kita. Namun perlu diingat, kemauan berubah
menjadi lebih baik juga sebuah karakter
positif. Kalau kita tidak mampu (karena tidak mau), apakah adil bila kita
menuntut anak didik kita melakukan hal yang baik/berubah lebih baik, bahkan
disertai dengan ancaman nilai kelakukan
buruk, atau poin dikurangi, dengan dalih pendidikan karakter. Sementara bagaimana bila insan-insan di dalam
lembaga pendidikan tersebut, dari jajaran pimpinan di berbagai level, guru/karyawan,
tak mampu menunjukkan KETELADANAN dengan menciptakan lingkungan yang kondusif,
berkomitmen dan konsekuen? Tuntutan ini memang berat, namun secara positif,
mengapa tidak kita pandang sebagai sebuah motivasi?
Penulis
yakin, tak seorang pun di antara kita yang berkeberatan, bila lingkungan, sistem/prosedur,
dan insan-insan di lingkungan kita BERUBAH menjadi lebih baik dan menyenangkan!
Bukankah demikian?
Maka,
sebelum kita yang dituntut oleh anak didik/konsumen kita, sebagai lembaga
pendidikan, sudah saatnya kita berbenah diri, tidak setengah-setengah, walau
dilakukan setahap demi setahap. Bukan hanya sisi pembelajaran yang kita garap,
namun harus menyeluruh, dari sistem manajemen yang meliputi ketenagaan,
kurikulum, kesiswaan, dan lain-lain, beserta seluruh SDM penggeraknya. Dengan
cara ini, kita mampu mempersembahkan keteladanan, pelayanan yang berkarakter,
sebagai kekuatan kita untuk menciptakan pribadi-pribadi muda yang berkarakter,
tanpa harus mengumbar kata-kata bijak
semata dalam orasi-orasi basi, namun nol dalam keteladanan nyata, atau sekedar
ancaman sanksi yang cuma menciptakan pribadi berkarakter palsu (kelihatan bagus
di permukaan, sedangkan di dalam, hanya Tuhan yang tahu). Ya, keleteladan dan
aura lingkungan positif kuncinya. Penyempurnaan
manajemen sekolah, dengan melibatkan unsur karakter di dalamnya disertai
implentasi yang nyata, adalah solusinya.
Pembaca,
pecinta dan pelaku pendidikan, beranikah kita melangkah ke titik menantang ini?
Totalitas menuju karakter positif. Biarlah nurani kita yang menjawabnya. Semoga
Tuhan memudahkan segala niat baik kita demi
masa depan anak cucu kita. Amin.
Comments
Post a Comment